Tampilkan postingan dengan label inspiration. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label inspiration. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 27 Juni 2015

Mari Menabung Sampah

Keterangan Foto :Belajar dari Sampah- Melalui sampah anak-anak dapat belajar banyak hal, mulai dari belajar untuk berhemat menggunakan sesuatu, hingga belajar untuk lebih kreatif menciptakan barang baru dengan bahan dari sampah daur ulang.

Kalau biasanya kita menabung ke bank dalam berupa uang, lain halnya yang dilakukan oleh anak-anak Sekolah Alam Bogor. Dengan penuh semangat, anak-anak ini membawa beragam sampah mulai dari botol plastik, kemasan detergen, kemasan pewangi pakaian, maupun koran bekas, untuk ditabung di Bank Sampah Sekolah Alam.
Menumbuhkan Kebiasaan BaikKemasan-kemasan itu diterima oleh pengurus bank sampah di depan loket sederhana, persis seperti kalau kita akan menyetor sejumlah uang ke bank. Setelah diterima, tabungan sampah anak-anak ditimbang untuk menentukan apakah tabungan hari itu akan mendapat poin atau tidak. Poin-poin yang telah dikumpulkan oleh anak-anak nantinya bisa ditukarkan dengan beragam suvenir dari bahan daur ulang, maupun dalam bentuk uang tunai.
“Dalam dunia anak-anak mereka akan lebih mudah belajar sesuatu dari hal yang nyata. Oleh karena itu kami sengaja mengajak anak-anak untuk turun langsung melakukan pemilahan sampah, dan mengajarkan kepada mereka apa manfaat dari kegiatan pemilahan sampah itu. Melalui bank sampah, anak-anak bisa melihat secara langsung kalau sampah-sampah botol dan koran bekas yang dikumpulkan bisa menghasilkan uang (untuk disedekahkan -red), kemasan detergen dapat dijadikan suvenir menarik seperti tas atau dompet,” tutur Tri Permana Dewi, Community Relationship Manager Sekolah Alam Bogor ini.
Setelah merasakan secara langsung manfaat dari mengumpulkan dan memilah sampah, diharapkan rasa kepedulian pada lingkungan dapat tumbuh dalam diri anak-anak. “Anak-anak adalah agen yang sangat baik. Mereka bisa membawa kebiasaan baik ini ke dalam keluarga mereka masing-masing. Bayangkan, apabila ada 250 anak yang melakukan pemilahan sampah dan membawa kebiasaan baik ini ke rumah mereka masing-masing, maka akan ada 250 keluarga yang mulai peduli terhadap masalah sampah ini,” tambah wanita yang biasa disapa Dewi ini.
Sebelum diserahkan ke bank sampah anak-anak sudah disosialisasikan untuk terlebih dahulu membersihkan sampah daur ulang tersebut, sehingga tidak akan menimbulkan bau. Maka tidak heran apabila di dalam ruangan Bank Sampah Sekolah Alam Bogor, tidak ada lalat yang berterbangan. “Tempat ini kan diperuntukkan bagi anak-anak, maka harus tetap bersih dan rapi. Dan hal itu juga harus dimulai dari mereka sendiri, ya salah satunya adalah mereka harus sudah membawa sampah yang bersih,” jelas Dewi.

Keterangan Foto :Belajar dari Sampah- Melalui sampah anak-anak dapat belajar banyak hal, mulai dari belajar untuk berhemat menggunakan sesuatu, hingga belajar untuk lebih kreatif menciptakan barang baru dengan bahan dari sampah daur ulang.

Mengurangi Sampah Sejak Awal
Sebenarnya kegiatan pemilahan sampah di Sekolah Alam tidak hanya dilakukan sejak adanya bank sampah. Jauh dari awal sekolah ini dibuka, kegiatan pemilah sampah sudah mulai diterapkan kepada anak-anak. Sesuai dengan konsep pendidikan Sekolah Alam Bogor yang menggunakan alam sebagai ruang belajar, alam sebagai media dan bahan ajar, serta alam sebagai objek pembelajaran, maka sejak dini anak-anak sudah mulai dibiasakan untuk peduli terhadap masalah sampah dan mulai memilah sampah sesuai jenisnya seperti sampah organik dan anorganik.
“Meskipun Bank Sampah Sekolah Alam baru resmi beroperasi pada 22 April 2009, namun sejak tahun 2002 (saat sekolah ini dibuka -red), pihak sekolah sudah mulai mengimbau anak-anak untuk mulai membawa sampah daur ulang ke sekolah untuk bahan pengajaran. Sejak awal sekolah didirikan, spirit-nya adalah mencoba untuk meminimalisir produksi sampah di dalam sekolah. Kita berharap untuk tidak memberikan sumbangan masalah sampah ke masyarakat ataupun pemerintah,” tegas Dewi
Beragam kegiatan pun dilakukan untuk menunjang program ini. Mulai dari menyediakan tempat sampah organik dan anorganik, mendayagunakan sampah daur ulang sebagai bahan ajar -papan tulis dari barang daur ulang, kardus bekas untuk kerajinan tangan, dan lain-lain, atau mengimbau anak-anak dan orang tua untuk membawa alat makan pribadi. Namun dalam perjalanannya, pihak Sekolah Alam Bogor melihat proses tersebut tidak bisa menyelesaikan permasalahan sampah dengan maksimal.
Dewi menambahkan, “Oleh karena itu kami terus mencari inovasi-inovasi baru, dan salah satunya adalah bank sampah ini. Berawal dari kegiatan anak-anak membawa sampah daur ulang untuk bahan pembelajaran, akhirnya dapat terus berkembang menjadi bank sampah seperti sekarang ini.”
Tidak Hanya Aku, Tapi Juga KamuAntusias anak-anak terhadap kegiatan ini pun sangat besar. Bahkan mereka merasa sangat bersyukur bisa bersedekah dari hasil tabungan sampah mereka sendiri. Tidak hanya untuk diri sendiri, menurut Dewi, beberapa orang tua dari anak-anak juga mengaku mulai “tertular” kebiasaan positif tersebut. “Ada beberapa orang tua sempat curhat kepada saya, waktu mereka mau buang sampah permen misalnya, anak mereka sudah langsung refleks mengingatkan ‘Mau dibuang kemana sampahnya mama?’,” tutur Dewi sambil tertawa.
Kebiasaan baik ini memang harus terus ditularkan. Oleh karena itu, pihak Sekolah Alam Bogor berharap, nantinya Sekolah Alam Bogor dapat menjadi salah satu model sekolah yang peduli dan sadar terhadap alam dan permasalahannya. “Karena seperti yang kita tahu bahwa, permasalahan sampah tidak hanya bisa terselesaikan oleh satu dua orang saja, tapi perlu kerja sama dari seluruh pihak,” tegas Dewi.

Lingkungan Hijau Petani Makmur


Indonesia sesungguhnya merupakan salah satu negara agraris terbesar di Asia Tenggara. Dengan lahan yang luas dan iklim yang mendukung sangat mungkin bagi Indonesia untuk bisa menjadi negara yang maju dalam bidang pertanian.
Tapi meskipun hasil pertanian negeri ini berlimpah, nyatanya nasib petani tak pernah berubah menjadi lebih baik. Dan sekarang, posisi petani semakin tercekik akibat  melambungnya harga pupuk, bibit, pestisida, dan bahan pertanian lainnya. Belum lagi dampak kerusakan lingkungan dan pemanasan global (global warming) yang menyebabkan  musim menjadi tidak menentu, yang berujung pada kesalahan musim tanam dan produktivitas yang menurun. Lebih menyedihkan lagi ternyata banyak masyarakat Indonesia  yang memandang profesi petani sebagai pekerjaan yang tidak menjanjikan dan identik dengan kemiskinan.
Namun tidak demikian dengan Boedi Krisnawan Suhargo, seorang pengusaha yang sukses di bidang pengembang perumahan, kini di usianya yang telah lanjut, ia memilih untuk mengkonservasi lahan kritis demi pelestarian lingkungan dan kesejahteraan para petani.
Inspirasi dari Masa Kecil
“Bagaimana petani bisa makmur kalau masyarakat memandang petani sebagai pekerjaan yang hina, dan anak para petani sendiri tidak bercita-cita sebagai petani. Yang muda lebih memilih bekerja di kota, sehingga yang tersisa di desa adalah para petani yang lemah, yang sudah tua. Dengan skillpetani yang lemah apakah mereka mampu bersaing di pasaran?” tanya Boedi. Ketertarikan Boedi terhadap kehidupan petani dipengaruhi oleh masa kecilnya yang berasal dari lingkungan petani di Rembang, Jawa Tengah. “Sejak kecil saya telah banyak melihat kehidupan petani,” akunya.
Di sisi lain, banyak organisasi yang mendengungkan pelestarian lingkungan, namun sering melupakan keberadaan masyarakat di sekitarnya yang juga menjadi bagian dari  lingkungan. Hal inilah yang membuat Boedi Krisnawan Suhargo, ayah dari dua orang putri ini bertekad mengusahakan pelestarian lingkungan yang diimbangi dengan kearifan menjaga ekonomi lokal masyarakat.
Menurut Boedi, lingkungan dan manusia harus berjalan berdampingan dan saling bersinergi. Setiap usaha pelestarian lingkungan harus diimbangi dengan kearifan menjaga budaya masyarakat dan pemecahan masalah yang berhubungan dengan ekonomi. “Orang harus mengubah definisi hutan lingkungan. Kalau orang bisa menghijaukan hutan tetapi tidak bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya, itu belum (bisa) dikatakan ramah lingkungan, karena masyarakat adalah bagian dari lingkungan. kibatnya banyak masyarakat yang tetap menjarah hutan,” tandasnya.
Konservasi Lahan
Dari pemikiran yang kritis terhadap lingkungan dan nasib para petani serta terinspirasi oleh kata perenungan Master Cheng Yen, Boedi kemudian mewujudkan idealismenya melalui pelestarian lingkungan berbasis ekonomi masyarakat pada tahun 2006 dengan mendirikan Vila Hutan Jati. Diawali dengan membeli lahan kritis yang terbengkalai seluas 120 hektar di Desa Jagabaya, Parung Panjang, Bogor, Boedi langsung mengkonservasinya dengan cara memperbaiki kondisi tanah yang terlanjur rusak akibat penambangan tanah merah. “Tanah di sini sudah mengalami kerusakan yang parah. Kadar besinya tinggi. Tingginya kadar besi itu dipengaruhi juga oleh global warming, sehingga hujan yang dihasilkan bersifat asam. Bila air tanahnya mengandung besi dan asam bagaimana tanaman bisa tumbuh,” terangnya.
Untuk mengatasi masalah ini tidaklah mudah. Pasal nya tanah yang akan di  tanami terlebih dahulu harus ditebari kapur, setelah itu baru ditimbun kompos. Setelah beberapa bulan, hasilnya kembali dilihat. Bila ternyata derajat keasaman (pH) tanahnya sudah memasuki nilai normal pada skala 6-7, maka lahan itu sudah bisa ditanami. Selain itu, kualitas air pun diperbaiki dengan cara mem buat lubang biopori sebanyakbanyaknya. Semua ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan itu semua harus ditanggung oleh Boedi secara pribadi.
Setelah tanah kembali normal, barulah Boedi melakukan penghijauan dengan me nanam pohon jati. Pemilihan jati di dasari oleh prinsip melakukan penghijauan tanpa mengesampingkan nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar. Menurut Boedi, jati memiliki investasi yang baik di masa depan, namun demikian para investor sesungguhnya telah melakukan kebajikan karena telah menyediakan lahan pertanian baru di lahan kritis bagi masyarakat. “Untuk memulihkan lahan yang kritis itu dibutuhkan biaya yang besar. Dan itu menjadi masalah bagi petani kita yang masih dalam kondisi miskin. Karena itu saya kemudian melakukan ini untuk memberikan contoh bagi yang lain agar bisa berbuat seperti ini dalam menyembuhkan bumi dan cara meningkatkan kehidupan petani,” ungkapnya.

Memberikan Pelatihan Intensif
Kepedulian Boedi terhadap petani memang dilakukan secara total. Tidak hanya memperbaiki lahan kritis, tetapi juga berusaha memperbaiki pola pikir para petani yang konvensional menuju pola berpikir yang modern. Melalui program ini ia mulai mengajak penduduk sekitar untuk menjadi mitra dalam menggarap lahannya sebagai petani tumpangsari. Selain diajarkan mengolah lahan kritis, mereka juga diajarkan cara membuat kompos, hidup dengan tanaman herbal, menanam padi dengan cara yang benar, dan manajemen pertanian. Semua diberikan tanpa dipungut biaya. Bahkan Boedi menyediakan tempat tinggal bagi 40 mitranya untuk tinggal di Vila Hutan Jati dan pemberian tunjangan bulanan selama mereka masih belum mandiri.
Menurut Boedi, salah satu pangkal kemajuan para petani adalah bagaimana mengajarkan mereka untuk berpikir kritis dan menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi. Mengajarkan para petani untuk mampu membuat pupuk sendiri adalah cara cerdas dalam mengatasi keterbatasan infrastruktur dan tingginya pupuk di Indonesia. “Banyak program pemakaian pupuk organik itu gagal. Karena yang paling substansi itu dilupakan. Mestinya petani itu yang dilatih membuat pupuk organik di tempatnya. Jadi tidak benar kalau membuat kompos itu di kota. Itu hanya untuk konsumsi penghobi tanaman, padahal pemakaian kompos terbesar itu ada di pertanian,” katanya dengan kritis.
Selain mengajarkan cara membuat pupuk, Boedi juga mengajarkan kepada para mitranya bagaimana cara menanam padi yang efektif di alam Indonesia, yaitu dengan sistem SRI (System of Rice Intensification), suatu teknik penanaman padi yang mampu menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode lain yang pernah ditanam meskipun dengan bibit dan pengairan yang lebih sedikit. Menurut Boedi, di sistem SRI, padi dikembalikan pada sifat asalnya sebagai tanaman darat dan diperlakukan dengan sebaik-baiknya. “Cinta kasih itu tidak hanya diperlakukan terhadap sesama manusia, tanaman pun harus diperlakukan sama. Pada waktu dipindahinitu harus diperlakukan dengan penuh kasih sayang,” terangnya. Hasilnya sangat mengejutkan, dalam satu hektar tanah yang biasanya menghasilkan 4 ton, dengan sistem SRI mampu menghasilkan 8 ton, bahkan bisa mencapai 10-15 on/ha.
Terakhir Boedi berharap apa yang ia kerjakan ini bisa menarik pihak lain untuk mau bersama-sama menyembuhkan bumi tanpa mengabaikan keberadaan masyarakat di sekitarnya. “Kalau ini dibicarakan bisnis, itu hampir nol bagi saya. Saya hanya ingin banyak orang yang bergabung, banyak orang yang peduli, ya terutama dari teman-teman relawan. Ribuan lilin cahayanya akan lebih terang dibandingkan cahaya satu lilin,” kata Boedi. Maka dari itu, Boedi mengharapkan adanya kebersamaan untuk mewujudkan lingkungan yang hijau dan petani yang makmur.

sumber:http://www.tzuchi.or.id/inspirasi/kisah-humanis/lingkungan-hijau-petani-makmur/24